Thursday 26 March 2015

Hadits 22: Melaksanakan Syari'at Islam dengan Sebenarnya




Dari Abu ‘Abdullah, Jabir bin ‘Abdullah Al Anshari radhiyallahu anhuma, sungguh ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Bagaimana pendapatmu jika aku melakukan shalat fardhu, puasa pada bulan Ramadhan, menghalalkan yang halal (melaksanakannya dengan penuh keyakinan), mengharamkan yang haram (menjauhinya) dan aku tidak menambahkan selain itu sedikit pun, apakah aku akan masuk surga?" Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab : " Ya" (HR. Muslim)

Penjelasan :
Sahabat yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ini bernama Nu’man bin Qauqal Abu ‘Amr bin Shalah mengatakan bahwa secara zhahir yang dimaksud dengan perkataan “aku mengharamkan yang haram” mencakup dua hal, yaitu meyakini bahwa sesuatu itu benar-benar haram dan tidak melanggarnya. Hal ini berbeda dengan perkataan “menghalalkan yang halal”, yang mana cukup meyakini bahwa sesuatu benar-benar halal saja.

Pengarang kitab Al Mufhim mengatakan secara umum bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak mengatakan kepada penanya di dalam Hadits ini sesuatu yang bersifat tathawwu’ (sunnah). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum boleh meninggalkan yang sunnah. Akan tetapi, orang yang meninggalkan yang sunnah dan tidak mau melakukannya sedikit pun, maka ia tidak memperoleh keuntungan yang besar dan pahala yang banyak. Akan tetapi, barang siapa terus-menerus meninggalkan hal-hal yang sunnah, berarti telah berkurang bobot agamanya dan berkurang pula nilai kesungguhannya dalam beragama. Barang siapa meninggalkan yang sunnah karena sikap meremehkan atau membencinya, maka hal itu merupakan perbuatan fasik yang patut dicela.

Para ulama kita berpendapat : “Bila penduduk suatu negeri bersepakat meninggalkan hal yang sunnah, maka mereka itu boleh diperangi sampai mereka sadar. Hal ini karena pada masa sahabat dan sesudahnya, mereka sangat tekun melakukan perbuatan-perbuatan sunnah dan perbuatan-perbuatan yang dipandang utama untuk menyempurnakan perbuatan-perbuatan wajib. Mereka tidak membedakan antara yang sunnah dan yang fiqih dalam memperbanyak pahala. Para imam ahli fiqih perlu menjelaskan perbedaan antara sunnah dan wajib hanya untuk menjelaskan konsekuensi hukum antara yang sunnah dan yang wajib jika hal itu ditinggalkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menjelaskan perbedaan sunnah dan wajib adalah untuk memudahkan dan melapangkan, karena kaum muslim masih baru dengan Islamnya sehingga dikhawatirkan membuat mereka lari dari Islam. Ketika telah diketahui kemantapannya di dalam Islam dan kerelaan hatinya berpegang kepada agama ini, barulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menggalakkan perbuatan-perbuatan sunnah. Demikian juga dengan urusan yang lain. Atau dimaksudkan agar orang tidak beranggapan bahwa amalan tambahan dan amalan utama keduanya merupakan hal yang wajib, sehingga jika meninggalkan konsekuensinya sama. Sebagaimana yang diriwayatkan pada Hadits lain bahwa ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang shalat, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberitahukan bahwa shalat itu lima waktu. Lalu orang itu bertanya : “Apakah ada kewajiban bagiku selain itu?” Beliau menjawab : “Tidak, kecuali engkau melakukan (shalat yang lain) dengan kemauan sendiri”.

Orang itu kemudian bertanya tentanng puasa, haji dan beberapa hukum lain, lalu beliau jawab semuanya. Kemudian, di akhir pembicaraan orang itu berkata : “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau mengurangi sedikitpun dari semua itu”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bersabda :
Dia akan beruntung jika benar”.
Jika ia berpegang dengan apa yang telah diperintahkan kepadanya, niscaya ia masuk surga”.
Artinya, bila ia memelihara hal-hal yang diwajibkan, melaksanakan dan mengerjakan tepat pada waktunya, tanpa mengubahnya, maka dia mendapatkan keselamatan dan keberuntungan yang besar. Alangkah baiknya bila kita dapat berbuat seperti itu. Barang siapa dapat mengerjakan yang wajib lalu diiringi dengan yang sunnah, niscaya dia akan mendapatkan keberuntungan yang lebih besar.


Perbuatan sunnah yang disyari’atkan untuk menyempurnakan yang wajib. Sahabat yang bertanya tersebut dan sahabat lain sebelumnya, dibiarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam keadaan seperti itu untuk memberikan kemudahan kepada kedua orang itu sampai hatinya mantap dan terbuka memahaminya dengan baik serta memiliki semangat kuat untuk melaksanakan hal-hal yang sunnah, sehingga dirinya menjadi ringan melaksanakannya.– wallahu a’lam –


[Ibnu Daqiqil 'Ied] Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi

Friday 20 March 2015

Hadits 21 Berlakulah Istiqomah




Dari Abu ‘Amr ---atau Abu ‘Amrah---, Sufyan bin ‘Abdullah radhiyallahu anhu, ia berkata : " Aku telah berkata : ‘Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu’. Bersabdalah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : ‘Katakanlah : Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’ “. (HR. Muslim)

Penjelasan :
Kalimat “katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu”, maksudnya adalah ajarkanlah kepadaku satu kalimat yang pendek, padat berisi tentang pengertian Islam yang mudah saya mengerti, sehingga saya tidak lagi perlu penjelasan orang lain untuk menjadi dasar saya beramal. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Katakanlah : ‘Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’ “. Ini adalah kalimat pendek, padat berisi yang Allah berikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Dalam dua kalimat ini telah terpenuhi pengertian iman dan Islam secara utuh. Beliau menyuruh orang tersebut untuk selalu memperbarui imannya dengan ucapan lisan dan mengingat di dalam hati, serta menyuruh dia secara teguh melaksanakan amal-amal shalih dan menjauhi semua dosa. Hal ini karena seseorang tidak dikatakan istiqamah jika ia menyimpang walaupun hanya sebentar. Hal ini sejalan dengan firman Allah : “Sesungguhnya mereka yang berkata : Allah adalah Tuhan kami kemudian mereka istiqamah……”.(QS. Fushshilat : 30)

yaitu iman kepada Allah semata-mata kemudian hatinya tetap teguh pada keyakinannya itu dan taat kepada Allah sampai mati.

‘Umar bin khaththab berkata : “Mereka (para sahabat) istiqamah demi Allah dalam menaati Allah dan tidak sedikit pun mereka itu berpaling, sekalipun seperti berpalingnya musang”. Maksudnya, mereka lurus dan teguh dalam melaksanakan sebagian besar ketaatannya kepada Allah, baik dalam keyakinan, ucapan, maupun perbuatan dan mereka terus-menerus berbuat begitu (sampai mati). Demikianlah pendapat sebagian besar para musafir. Inilah makna hadits tersebut, Insya Allah.

Begitu pula firman Allah : “Maka hendaklah kamu beristiqamah seperti yang diperintahkan kepadamu”.(QS. Hud : 112)

Menurut Ibnu ‘Abbas, tidak satu pun ayat Al Qur’an yang turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang dirasakan lebih berat dari ayat ini. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda :
Aku menjadi beruban karena turunnya Surat Hud dan sejenisnya”.

Abul Qasim Al Qusyairi berkata : “Istiqamah adalah satu tingkatan yang menjadi penyempurna dan pelengkap semua urusan. Dengan istiqamah, segala kebaikan dengan semua aturannya dapat diwujudkan. Orang yang tidak istiqamah di dalam melakukan usahanya, pasti sia-sia dan gagal”. Ia berkata pula : “Ada yang berpendapat bahwa istiqamah itu hanyalah bisa dijalankan oleh orang-orang besar, karena istiqamah adalah menyimpang dari kebiasaan, menyalahi adat dan kebiasaan sehari-hari, teguh di hadapan Allah dengan kesungguhan dan kejujuran. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : ‘Istiqamahlah kamu sekalian, maka kamu akan selalu diperhitungkan orang’.


Al Washiti berkata : “Istiqamah adalah sifat yang dapat menyempurnakan kepribadian seseorang dan tidak adanya sifat ini rusaklah kepribadian seseorang”. – wallahu a’lam –


[Ibnu Daqiqil 'Ied] Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi

Hadits 20: Milikilah Sifat Malu




Dari Abu Mas'ud, ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Al Badri radhiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : "Sesungguhnya diantara yang didapat manusia dari kalimat kenabian yang pertama ialah : Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu." (HR. Bukhari)

Penjelasan :
Sabdanya “kalimat kenabian yang pertama”, maksudnya ialah bahwa rasa malu selalu terpuji dan dipandang baik, selalu diperintahkan oleh setiap nabi dan tidak pernah dihapuskan dari syari’at para nabi sejak dahulu. Sabda beliau : “berbuatlah sekehendakmu”, mengandung dua pengertian, yaitu : pertama, berarti ancaman dan peringatan keras, bukan merupakan perintah, sebagaimana sabda beliau : “Lakukanlah sesuka kamu”

Yang juga berarti ancaman, sebab kepada mereka telah diajarkan apa yang harus ditinggalkan. Demikian juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Barang siapa yang menjual khamr maka hendaklah dia memotong-motong daging babi”.

Tidak berarti bahwa beliau membenarkan melakukan hal semacam itu.
Pengertian kedua ialah hendaklah melakukan apa saja yang kamu tidak malu melakukannya, seperti halnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Malu itu sebagian dari Iman”.


Maksud malu di sini adalah malu yang dapat menjauhkan dirinya dari perbuatan keji dan mendorongnya berbuat kebajikan. Demikian juga bila malu dapat mendorong seseorang meninggalkan perbuatan keji kemudian melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka malu semacam ini sederajat dengan iman karena kesamaan pengaruhnya pada seseorang. – wallahu a’lam –


[Ibnu Daqiqil 'Ied] Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi

Monday 16 March 2015

Hadits 19: Mintalah Tolong kepada Allah




Dari Abu Al ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata : Pada suatu hari saya pernah berada di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat : Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjaga kamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di hadapanmu. Jika kamu minta, mintalah kepada Allah. Jika kamu minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu. Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu.

Segenap pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering." (HR. Tirmidzi, ia telah berkata : Hadits ini hasan, pada lafazh lain hasan shahih. Dalam riwayat selain Tirmidzi : “Hendaklah kamu selalu mengingat Allah, pasti kamu mendapati-Nya di hadapanmu. Hendaklah kamu mengingat Allah di waktu lapang (senang), niscaya Allah akan mengingat kamu di waktu sempit (susah). Ketahuilah bahwa apa yang semestinya tidak menimpa kamu, tidak akan menimpamu, dan apa yang semestinya menimpamu tidak akan terhindar darimu. Ketahuilah sesungguhnya kemenangan menyertai kesabaran dan sesungguhnya kesenangan menyertai kesusahan dan kesulitan”) .

Penjelasan : 
Riwayat hidup ‘Abdullah bin ‘Abbas sudah banyak dikenal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendo’akannya dengan sabdanya :
Ya Allah, jadikanlah dia paham tentang agamanya dan ajarkanlah kepadanya penafsiran Al Qur’an”.
Nabi juga mendo’akannya agar diberi hikmah dua kali. Ada riwayat yang sah dari dirinya bahwa dia pernah melihat Jibril dua kali. Ia adalah ulama yang kaya ilmu di kalangan umat Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melihatnya sebagai seorang anak yang patut menerima pesan beliau.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadanya : “Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjaga kamu, maksudnya hendaklah kamu menjadi orang yang taat kepada Tuhanmu, melaksanakan semua perintah-Nya, dan menjauhi semua larangan-Nya.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di hadapanmu”, maksudnya hendaklah beramal karena-Nya dengan penuh ketaatan sehingga Allah tidak memandangmu sebagai orang yang menyalahi perintah-Nya, niscaya kamu akan mendapati Allah menjadi penolongmu di saat situasi sulit, seperti yang pernah terjadi pada kisah tiga orang yang tertimpa hujan lebat lalu mereka berlindung di dalam gua, kemudian pintu gua tertutup batu. Pada saat itu mereka berkata kepada sesamanya : “Ingatlah kebaikan yang pernah kamu lakukan, lalu mohonlah kepada Allah dengan kebaikan itu supaya kamu diselamatkan”. Kemudian masing-masing menyebut kebaikan yang pernah dilakukan, maka batu penutup gua itu kemudian terbuka lalu mereka dapat keluar. Kisah mereka ini popular dan terdapat pada Hadits shahih.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Jika kamu minta, mintalah kepada Allah. Jika kamu minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah”, memberikan petunjuk supaya bertawakkal kepada Allah, tidak bertuhan kepada selain-Nya, tidak menggantungkan nasibnya kepada siapa pun baik sedikit ataupun banyak.

Allah berfirman :
“Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah maka Allah pasti akan memberinya kecukupan”. (QS. Ath Thalaq : 3)

Berapa besar ketergantungan seseorang kepada selain Allah baik dalam hatinya maupun dalam angan-angannya, maka sebesar itu pula ia telah menjauhkan diri dari Allah untuk bergantung kepada sesuatu yang tidak kuasa memberinya manfaat atau kerugian. Begitu juga takut kepada selain Allah.

Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menegaskan dengan sabdanya : “Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu”.

Begitu pula dalam hal kerugian, “niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu”. Inilah yang disebut iman kepada taqdir.

Iman kepada taqdir adalah wajib, baik taqdir yang baik maupun yang buruk. Apabila seorang mukmin telah yakin dengan hal ini, maka apa perlunya dia meminta kepada selain Allah atau memohon pertolongan kepada yang lain. Begitu pula jawaban Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada malaikat Jibril ketika ia bertanya kepada beliau saat berada di langit (ketika mi’raj) : “Apakah engkau membutuhkan pertolongan?” Beliau menjawab : “Kalau kepadamu tidak”.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Segenap pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering”, menguatkan keterangan tersebut diatas, maksudnya tidak berlawanan dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya.

Kemudian sabda beliau : “Ketahuilah sesungguhnya kemenangan menyertai kesabaran dan sesungguhnya kesenangan menyertai kesusahan dan kesulitan”, maksudnya beliau mengingatkan kepada manusia di dunia ini, terutama orang-orang shalih bahwa mereka itu selalu dihadapkan kepada ujian dan cobaan sebagaimana firman Allah :
“Sungguh Kami pasti memberi cobaan kepada kamu sekalian dengan sesuatu berupa rasa takut, kelaparan, berkurangnya harta, jiwa dan buah-buahan. Dan gembirakanlah orang-orang yang bersabar, yaitu mereka yang bila ditimpa musibah, mereka berkata : ‘Sungguh kami semua adalah milik Allah dan sungguh hanya kepada-Nyalah kami kembali’. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan limpahan karunia dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang terpimpin”. (QS. 2 : 155-157)

Allah berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu pastilah dipenuhi pahala mereka tanpa batas”. (QS. Az Zumar : 10)– wallahu a’lam –

[Ibnu Daqiqil 'Ied] Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi

Hadits 18: Setelah Melakukan Kesalahan Disusul dengan Kebaikan




Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan Abu ‘Abdurrahman, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda : “Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah sesuatu perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan bergaullah sesama manusia dengan akhlaq yang baik”.
(HR. Tirmidzi, ia telah berkata : Hadits ini hasan, pada lafazh lain hasan shahih)

Penjelasan :
Riwayat hidup Abu Dzar itu banyak. Ia masuk Islam ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam masih di Makkah dan beliau menyuruhnya kembali kepada kaumnya. Namun ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menyaksikan tekadnya untuk tinggal di Makkah bersama beliau, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mampu lagi mencegahnya.

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Dzar “Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah sesuatu perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya”.

Hal ini sejalan dengan firman Allah : “Sesungguhnya segala amal kebajikan menghapus segala perbuatan dosa”. (QS. Huud : 114)

Sabda beliau “bergaullah sesama manusia dengan akhlaq yang baik” maksudnya bergaullah dengan manusia dengan cara-cara yang kamu merasa senang bila diperlakukan oleh mereka dengan cara seperti itu. Ketahuilah bahwa yang paling berat timbangannya di akhirat kelak adalah akhlaq yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kamu dan yang paling dekat kepadaku posisinya pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaqnya diantara kamu”.


Akhlaq yang baik adalah sifat para nabi, para rasul dan orang-orang mukmin pilihan. Perbuatan buruk hendaklah tidak di balas dengan keburukan, tetapi dimaafkan dan diampuni serta dibalas dengan kebaikan. – wallahu a’lam –

[Ibnu Daqiqil 'Ied] Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi

Friday 13 March 2015

Hadits 17: Berbuat Baik dalam Segala Urusan




 Dari abu ya’la, Syaddad bin Aus radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beliau telah bersabda : “ Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik pada segala hal, maka jika kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang disembelihnya”.
(HR. Muslim)

Penjelasan :

Kalimat “hendaklah membunuh dengan cara yang baik” berlaku umum mencakup menyembelih, membunuh dalam Qishash, ataupun hukuman pidana lainnya. Hadits ini termasuk salah satu Hadits yang mengandung berbagai macam prinsip atau kaidah. Membunuh dengan cara yang baik itu ialah membunuh tanpa sedikit pun unsur penganiayaan atau penyiksaan. Menyembelih dengan cara yang baik yaitu menyembelih hewan dengan lemah lembut, tidak merebahkannya ketanah dengan keras dan juga tidak menyeretnya, menghadapkannya ke kiblat, membaca basmalah dan hamdalah, memotong urat nadi lehernya dan membiarkannya sampai mati baru dikuliti, mengakui nikmat dan mensyukuri pemberian Allah, karena Allah telah menundukkannya kepada kita, padahal Dia berkuasa untuk menjadikannya sebagai musuh kita dan telah menghalalkan dagingnya untuk kita, padahal Dia berkuasa untuk mengharamkannya.-Wallaahu a’lam-



[Ibnu Daqiqil 'Ied] Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi

Hadits 16: Jangan Mudah Marah




Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Berilah wasiat kepadaku”. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah engkau mudah marah”. Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau : “Janganlah engkau mudah marah”.
(HR. Bukhari)

Penjelasan :
Pengarang kitab Al Ifshah berkata : “Boleh jadi Nabi mengetahui laki-laki tersebut sering marah, sehingga nasihat ini ditujukan khusus kepadanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memuji orang yang dapat mengendalikan hawa nafsunya ketika marah”. Sabda beliau : “Bukanlah dikatakan orang yang kuat karena dapat membanting lawannya, tetapi orang yang kuat ialah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya di waktu marah”.

Allah juga memuji orang yang dapat mengendalikan nafsunya ketika marah dan suka memberi maaf kepada orang lain. Diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : “Barang siapa menahan marahnya padahal ia sanggup untuk melampiaskannya, maka kelak Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan segala makhluk, sehingga ia diberi hak memilih bidadari yang disukainya

Tersebut pada Hadits lain : “Marah itu dari setan”. Oleh karena itu, orang yang marah menyimpang dari keadaan normal, berkata yang bathil, berbuat yang tercela, menginginkan kedengkian, perseteruan dan perbuatan-perbuatan tercela. Semua itu adalah akibat dari rasa marah. Semoga Allah melindungi kita dari rasa marah. Tersebut pada Hadits Sulaiman bin Shard : “Sesungguhnya mengucapkan ‘a’udzuubillaahi minasy syaithanirrajiim’ dapat menghilangkan rasa marah”.


Karena sesungguhnya setanlah yang mendorong marah. Setiap orang yang menginginkan hal-hal yang terpuji, setan selalu membelokkannya dan menjauhkannya dari keridhaan Allah, maka mengucapkan “a’udzuubillaahi minasy syaithanirrajiim” merupakan senjata yang paling kuat untuk menolak tipu daya setan ini.

Thursday 12 March 2015

Hadits 15: Berkata yang Baik atau Diam




Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”.
(HR. Bukhari dan Muslim)

Penjelasan :
Kalimat“barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah :
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”. (QS. Al Isra’ : 36)
dan firman-Nya:
“Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS. Qaff : 18)
Bahaya lisan itu sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan lidahnya”.

Beliau juga bersabda :
Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama Allah, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran”.
Barang siapa memahami hal ini dan beriman kepada-Nya dengan keimanan yang sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara lidahnya sehingga dia tidak akan berkata kecuali perkataan yang baik atau diam.

Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat Hadits, antara lain adalah Hadits “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan Hadits ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena takut terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah yang banyak terjadi pada manusia.

Allah berfirman :
Apapun kata yang terucapkan pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS.Qaaf : 18)
Para ulama berbeda pendapat, apakah semua yang diucapkan manusia itu dicatat oleh malaikat, sekalipun hal itu mubah, ataukah tidak dicatat kecuali perkataan yang akan memperoleh pahala atau siksa. Ibnu ‘Abbas dan lain-lain mengikuti pendapat yang kedua. Menurut pendapat ini maka ayat di atas berlaku khusus, yaitu pada setiap perkataan yang diucapkan seseorang yang berakibat orang tersebut mendapat pembalasan.
Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…….., maka hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya”.
Bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.

Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini mengandung hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”. Pengarang juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.


Selanjutnya ia berkata : Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” , menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk. Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” didahulukan dari perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadits ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan pemberiannya.

Monday 16 February 2015

Hadits 14: Larangan Berzina, Membunuh dan Murtad



Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : ‘Tidak halal darah seorang muslim kecuali Karena salah satu di antara tiga perkara : orang yang telah kawin berzina, jiwa dengan jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya yaitu merusak jama’ah’ “.
(HR. Bukhari dan Muslim)

Penjelasan :
Pada beberapa riwayat disebutkan :
Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan sesungguhnya aku adalah rasul Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal”.

Kalimat “telah bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan sesungguhnya aku adalah rasul Allah” merupakan penjelasan dari kata “muslim”. Kalimat “yang merusak jama’ah” adalah penjelasan dari kata “yang meninggalkan agamanya”.
Ketiga golongan ini darahnya dihalalkan berdasarkan nash. Yang dimaksud dengan “jama’ah” adalah kaum muslim dan yang dimaksud dengan “merusak jama’ah” adalah keluar dari agama. Inilah yang menyebabkan darahnya dihalalkan.

Kalimat “yang meninggalkan agamanya yaitu merusak jama’ah” adalah kalimat umum yang mencakup setiap orang yang keluar dari agama Islam dalam bentuk apapun, maka ia wajib dibunuh kalau tidak mau kembali kepada Islam.
Para ulama berkata : “Kalimat tersebut juga mencakup setiap orang yang menyimpang dari kaum muslim dengan berbuat bid’ah, merusak, atau lainnya”. Wallahu a‘lam.

Secara tersurat, kalimat yang umum tersebut dikhususkan kepada orang yang melakukan penyerangan atau semacamnya terhadap kaum muslim, maka untuk mengatasi gangguannya itu dia boleh dibunuh, karena perbuatan semacam itu termasuk kategori merusak kaum muslim. Juga yang dimaksud oleh Hadits di atas ialah seorang muslim tidak boleh dengan sengaja dibunuh terkecuali karena dia melakukan salah satu dari tiga hal di atas.

Sebagian ulama menjadikan Hadits ini sebagai dalil bahwa orang yang meninggalkan shalat boleh dibunuh, karena perbuatannya itu termasuk salah satu dari tiga perbuatan di atas. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, sebagian menyatakannya kafir dan sebagian lagi menyatakan tidak kafir. Pendapat yang menyatakan kafir berdalil dengan Hadits lain yaitu sabda Rasululah Shalallahu ‘alaihi wasallam : “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah dan sesungguhnya aku adalah rasul Allah, mereka melakukan shalat dan mengeluarkan zakat”.

Maksud dari dalil ini ialah bahwa perlindungan itu diberikan kepada orang yang mengucapakan syahadat, melaksanakan shalat dan mengeluarkan zakat secara utuh dan meninggalkan salah satunya berarti membatalkannya. Pemahaman seperti ini berlaku jika dalil diatas di pegang secara harfiah, yaitu kalimat “aku diperintah untuk memerangi manusia….” Dipahami bahwa perintah memerangi ini berlaku bagi semua yang melanggar apa yang disebutkan. Pemahaman seperti ini dianggap lemah Karena tidak membedakan antara memerangi dan membunuh, sedangkan memerangi berarti tindakan dua pihak yang saling membunuh. Kewajiban memerangi orang yang meninggalkan shalat tidak dengan sendirinya menyatakan kewajiban membunuh selama orang itu tidak memerangi kita. Wallaahu a’lam.

Kalimat “orang yang telah kawin berzina” mencakup laki-laki dan perempuan. Hadits ini menjadi dasar kesepakatan kaum muslim bahwa orang yang berzina semacam itu dirajam dengan syarat-syarat yang dijelaskan dalam kitab fiqih.

Kalimat “jiwa dengan jiwa” sejalan dengan firman Allah: “Dan Kami telah tetapkan mereka di dalam Taurat bahwa jiwa dengan jiwa”. (QS. Al Maidah : 45)
Yaitu berlaku sepadan antara orang-orang yang sama-sama Islam atau sama-sama merdeka. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam : “Seorang muslim tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir”.


Begitu juga syarat merdeka, berlaku sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad. Akan tetapi, para pengikut ahli ra’yu (Imam Abu Hanifah) berpendapat seorang muslim dihukum bunuh karena membunuh kafir dzimmi dan orang merdeka dibunuh karena membunuh budak, dan mereka berdalil dengan Hadits ini juga. Akan tetapi kebanyakan ulama berbeda dengan pendapat tersebut. -Wallaahu a’lam-



[Ibnu Daqiqil 'Ied] Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi

Monday 9 February 2015

Hadits 13: Mencintai Milik Orang Lain Seperti Mencintai Miliknya Sendiri



Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai milik saudaranya (sesama muslim) seperti ia mencintai miliknya sendiri”.
(HR. Bukhari dan Muslim)

Penjelasan :
Demikianlah di dalam Shahih Bukhari, digunakan kalimat “milik saudaranya” tanpa kata yang menunjukkan keraguan. Di dalam Shahih Muslim disebutkan “milik saudaranya atau tetangganya” dengan kata yang menunjukkan keraguan.

Para ulama berkata bahwa “tidak beriman” yang dimaksudkan ialah imannya tidak sempurna karena bila tidak dimaksudkan demikian, maka berarti seseorang tidak memiliki iman sama sekali bila tidak mempunyai sifat seperti itu. Maksud kalimat “mencintai milik saudaranya” adalah mencintai hal-hal kebajikan atau hal yang mubah. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat Nasa’i yang berbunyi :
Sampai ia mencintai kebaikan untuk saudaranya seperti mencintainya untuk dirinya sendiri”.
Abu ‘Amr bin Shalah berkata : “ Perbuatan semacam ini terkadang dianggap sulit sehingga tidak mungkin dilakukan seseorang. Padahal tidak demikian, karena yang dimaksudkan ialah bahwa seseorang imannya tidak sempurna sampai ia mencintai kebaikan untuk saudaranya sesama muslim seperti mencintai kebaikan untuk dirinya sendiri. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan melakukan sesuatu hal yang baik bagi diriya, misalnya tidak berdesak-desakkan di tempat ramai atau tidak mau mengurangi kenikmatan yang menjadi milik orang lain. Hal-hal semacam itu sebenarnya gampang dilakukan oleh orang yang berhati baik, tetapi sulit dilakukan orang yang berhati jahat”. Semoga Allah memaafkan kami dan saudara kami semua.

Abu Zinad berkata : “Secara tersurat Hadits ini menyatakan hak persaman, tetapi sebenarnya manusia itu punya sifat mengutamakan dirinya, karena sifat manusia suka melebihkan dirinya. Jika seseorang memperlakukan orang lain seperti memperlakukan dirinya sendiri, maka ia merasa dirinya berada di bawah orang yang diperlakukannya demikian. Bukankah sesungguhnya manusia itu senang haknya dipenuhi dan tidak dizhalimi? Sesungguhnya iman yang dikatakan paling sempurna ketika seseorang berlaku zhalim kepada orang lain atau ada hak orang lain pada dirinya, ia segera menginsafi perbuatannya sekalipun hal itu berat dilakukan.

Diriwayatkan bahwa Fudhail bin ‘Iyadz, berkata kepada Sufyan bin ‘Uyainah : “Jika anda menginginkan orang lain menjadi baik seperti anda, mengapa anda tidak menasihati orang itu karena Allah. Bagaimana lagi kalau anda menginginkan orang itu di bawah anda?” (tentunya anda tidak akan menasihatinya).

Sebagian ulama berpendapat : “Hadits ini mengandung makna bahwa seorang mukmin dengan mukmin lainnya laksana satu tubuh. Oleh karena itu, ia harus mencintai saudaranya sendiri sebagai tanda bahwa dua orang itu menyatu”.
Seperti tersebut pada Hadits lain :

Orang-orang mukmin laksana satu tubuh, bila satu dari anggotanya sakit, maka seluruh tubuh turut mengeluh kesakitan dengan merasa demam dan tidak bisa tidur malam hari”. -Wallaahu a’lam-



[Ibnu Daqiqil 'Ied] Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi 

Sunday 8 February 2015

Hadits 12: Meninggalkan yang Tidak Bermanfaat



Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : ‘Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya’ “.
(HR. Tirmidzi, Hadits Hasan)

Penjelasan :
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Qurrah bin ‘abdurrahman dari Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dan sanad-sanadnya ia nyatakan shahih. Tentang Hadits ini ia berkata : “Hadits ini kalimatnya pendek tetapi padat berisi”. Semakna dengan Hadits ini adalah ucapan Abu Dzar pada beberapa riwayatnya: “Barang siapa yang menilai ucapan dengan perbuatannya, maka dia akan sedikit bicara dalam hal yang tidak berguna bagi dirinya”.

Imam Malik menyebutkan bahwa sampai kepadanya keterangan bahwa seseorang berkata kepada Luqman : “Apa yang menjadikan engkau mencapai derajat yang kami saksikan sekarang?” Jawabnya : “Berkata benar, menunaikan amanat dan meninggalkan apa saja yang tidak berguna bagi diriku”.


Diriwayatkan dari Imam Al Hasan, ia berkata : “Tanda bahwa Allah menjauh dari seseorang yaitu apabila orang itu sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna bagi kepentingan akhiratnya”. Ia berkata bahwa Abu Dawud berkata : “Ada 4 Hadits yang menjadi dasar bagi tiap-tiap perbuatan, salah satunya adalah Hadits ini”. -Wallaahu a’lam-



[Ibnu Daqiqil 'Ied] Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi 

Saturday 7 February 2015

Hadits 11: Tinggalkan Keragu-raguan



Dari Abu Muhammad, Al Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, cucu Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kesayangan beliau telah berkata : “Aku telah menghafal (sabda) dari Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, bergantilah kepada apa yang tidak meragukan kamu “.
(HR. Tirmidzi dan Nasa’i, berkata Tirmidzi : Ini adalah Hadits Hasan Shahih)

Penjelasan :
Kalimat “yang meragukan kamu” maksudnya tinggalkanlah sesuatu yang menjadikan kamu ragu-ragu dan bergantilah kepada hal yang tidak meragukan. Hadits ini kembali kepada pengertian Hadits keenam, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya banyak perkara syubhat”.

Pada hadits lain disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Seseorang tidak akan mencapai derajat taqwa sebelum ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir berbuat sia-sia”.

Tingkatan sifat semacam ini lebih tinggi dari sifat meninggalkan yang meragukan. -Wallahu a’lam-



[Ibnu Daqiqil 'Ied] Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi

Hadits 10: Makanlah dari Rizki yang Halal



Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : “Telah bersabda Rasululloh : “ Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rasul, maka Allah telah berfirman: Wahai para Rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Dan Dia berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.’ Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhan, wahai Tuhan” , sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana orang seperti ini dikabulkan do’anya". (HR. Muslim)

Penjelasan :
Kata “thayyib (baik)” berkenaan dengan sifat Allah maksudnya ialah bersih dari segala kekurangan. Hadits ini merupakan salah satu dasar dan landasan pembinaan hukum Islam. Hadits ini berisi anjuran membelanjakan sebagian dari harta yang halal dan melarang membelanjakan harta yang haram. Makanan, minuman, pakaian dan sebagainya hendaknya benar-benar yang halal tanpa bercampur yang syubhat.

Orang yang ingin memohon kepada Allah hendaklah memperhatikan persyaratan yang tersebut pada Hadits ini. Hadits ini juga menyatakan bahwa seseorang yang membelanjakan hartanya dalam kebaikan berarti ia telah membersihkan dan menumbuhkan hartanya. Makanan yang enak tetapi tidak halal menjadi malapetaka bagi yang memakannya dan Allah tidak akan menerima amal kebajikannya.
Kalimat “kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu”, maksudnya ialah menempuh perjalanan jauh untuk melaksanakan kebaikan seperti haji, jihad, dan perbuatan baik lainnya. Amal kebajikan tersebut tidak akan diterima oleh Allah bila yang bersangkutan makan, minum dan berpakaian dari hasil yang haram. Lalu bagaimana lagi nasib orang-orang yang berbuat dosa di dunia atau berlaku zhalim kepada orang lain atau mengabaikan ibadah dan amal kebajikan?

Kalimat “menengadahkan kedua tangannya” maksudnya berdo’a kepada Allah memohon sesuatu, namun dia tetap berbuat dosa dan melanggar aturan agama.

Kalimat “makanannya haram…, maka bagaimana orang seperti ini dikabulkan do’anya”, maksudnya bagaimana orang yang perbuatannya semacam itu akan dikabulkan do’anya, karena dia bukanlah orang yang layak dikabulkan do’anya. Akan tetapi walaupun demikian, boleh saja Allah mengabulkannya sebagai tanda kemurahan, kasih sayang dan pemberian karunia. -Wallaahu a’lam-



[Ibnu Daqiqil 'Ied] Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi 







Wednesday 14 January 2015

Hadits 9: Melaksanakan Perintah Sesuai Kemampuan



Dari Abu Hurairah, ‘Abdurrahman bin Shakhr ra, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : “Apa saja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka (tidak mau taat dan patuh)” (HR. Bukhari & Muslim)

Penjelasan :
Hadits ini terdapat dalam kitab Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah berkhutbah dihadapan kami, sabda beliau : Wahai manusia, Allah telah mewajibkan kepada kamu haji, karena itu berhajilah, lalu seseorang bertanya : Wahai Rasulullah… apakah setiap tahun ?, Rasulullah diam, sampai orang itu bertanya tiga kali, lalu Rasulullah bersabda : Kalau aku katakana “ya” niscaya menjadi wajib dan kamutidak akan sanggup melakukannya, kemudian beliau bersabda lagi :Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan, karena kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka. Maka jika aku perintahkan melakukan sesuatu, kerjakanlah menurut kemampuan kamu, tetapi jika aku melarang kamu melakukan sesuatu, maka tinggalkanlah. Laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah adalah Aqra’ bin Habits, demikianlah menurut suatu riwayat.
Para ahli ushul fiqh mempersoalkan perintah dalam agama, apakah perintah itu harus dilakukan berulang-ulang ataukah tidak. Sebagian besar ahli fiqh dan ahli ilmu kalam menyatakan tidak wajib berulang-ulang. Akan tetapi yang lain tidak menyatakan setuju atau menolak, tetapi menunggu penjelasan selanjutnya. Hadits ini dijadikan dalil bagi mereka yang bersikap menanti (netral), karena sahabat tersebut bertanya “Apakah setiap tahun?” sekiranya perintah itu dengan sendirinya mengharuskan pelaksanaan berulang-ulang atau tidak, tentu Rasulullah tidak menjawab dengan kata-kata “Kalau aku katakan “ya”, niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannyaBahkan tidak ada gunanya hal tersebut ditanyakan. Akan tetapi secara umum perintah itu mengandung pengertian tidak perlu dilaksanakan berulang-ulang. Kaum muslim sepakat bahwa menurut agama, bahwa haji itu hanya wajib dilakukan satu kali seumur hidup.

Kalimat, “Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan” secara formal menunjukkan bahwa setiap perintah agama tidaklah wajib dilaksanakan berulang-ulang, kalimat ini juga menunjukkan bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban melaksanakan ibadah sampai datang keterangan agama. Hal ini merupakan prinsip yang benar dalam pandangan sebagian besar ahli fiqh.

Kalimat, “Kalau aku katakan “ya” tentu menjadi wajib” menjadi alasan bagi pemahaman para salafush sholih bahwa Rasulullah mempunyai wewenang berijtihad dalam masalah hukum dan tidak diisyaratkan keputusan hukum itu harus dengan wahyu.

Kalimat, “apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu” merupakan kalimat yang singkat namun padat dan menjadi salah satu prinsip penting dalam Islam, termasuk dalam prinsip ini adalah masalah-masalah hukum yang tidak terhitung banyaknya, diantaranya adalah sholat, contohnya pada ibadah sholat, bila seseorang tidak mampu melaksanakan sebagian dari rukun atau sebagian dari syaratnya, maka hendaklah ia lakukan apa yang dia mampu. Begitu pula dalam membayar zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, bila tidak bisa membayar semuanya, maka hendaklah ia keluarkan semampunya, juga dalam memberantas kemungkaran, jika tidak dapat memberantas semuanya, maka hendaklah ia lakukan semampunya dan masalah-masalah lain yang tidak terbatas banyaknya. Pembahasan semacam ini telah populer didalam kitab-kitab fiqh. Hadits diatas sejalan dengan firman Allah, QS. At-Taghabun 64:16, “Maka bertaqwalah kepada Allah menurut kemampuan kamu” Adapun firman Allah, QS. Ali ‘Imraan 3:102, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sungguh-sungguh” ada yang berpendapat telah terhapus oleh ayat diatas. Sebagian ulama berkata : Yang benar ayat tersebut tidak terhapus bahkan menjelaskan dan menafsirkan apa yang dimaksud dengan taqwa yang sungguh-sungguh, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, dan Allah memerintahkan melakukan sesuatu menurut kemampuan, karena Allah berfirman, QS. Al-Baqarah 2:286, “Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya” dan firman Allah dalam QS. Al-Hajj 22:78, “Allah tidak membebankan kesulitan kepada kamu dalam menjalankan agama
Kalimat, “apasaja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi” maka hal ini menunjukkan adanya sifat mutlak, kecuali apabila seseorang mengalami rintangan /udzur dibolehkan melanggarnya, seperti dibolehkan makan bangkai dalam keadaan darurat, dalam keadaan seperti ini perbuatan semacam itu menjadi tidak dilarang. Akan tetapi dalam keadaan tidak darurat hal tersebut harus dijauhi karena ada larangan. Seseorang tidak dapat dikatakan menjauhi larangan jika hanya menjauhi larangan tersebut dalam selang waktu tertentu saja, berbeda dengan hal melaksanakan perintah, yang mana sekali saja dilaksanakan sudah terpenuhi. Inilah prinsip yang berlaku dalam memahami perintah secara umum, apakah suatu perintah harus segera dilakukan atau boleh ditunda, atau cukup sekali atau berulang kali, maka hadits ini mengandung berbagai macam pembahasan fiqh.

Kalimat, “Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka” disebutkan setelah kalimat, “biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan kepada kamu” maksudnya ialah kamu jangan banyak bertanya sehingga menimbulkan jawaban yang bermacam-macam, menyerupai peristiwa yang terjadi pada bani Israil, tatkala mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi yang seandainya mereka mengikuti perintah itu dan segera menyembelih sapi seadanya, niscaya mereka dikatakan telah menaatinya.


Akan tetapi, karena mereka banyak bertanya dan mempersulit diri sendiri, maka mereka akhirnya dipersulit dan dicela. Rasulullah SAW khawatir hal semacam ini terjadi pada umatnya. -Wallahu a’lam-



[Ibnu Daqiqil 'Ied] Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi